The Awesome Baduy

7 Februari 2014

Baduy, suku yang menetap di daerah pedalaman Banten ini cukup menarik perhatian saya sejak dulu karena kesederhanaannya yang bisa dikatakan masih primitif dan suasana alam yang sangatlah asri.  Hal dikarenakan amanat dari leluhur mereka yakni:

"uyut nu dititipkeun ka puun (Buyut yang dititipkan kepada puun/ ketua suku)
nagara satelung puluh telu (negara tiga puluh tiga)
bangawan sawidak lima (sungai enam puluh lima)
pancer salawe negara pusat (dua puluh lima negara)
gunung teu meunang dilebur (gunung tak boleh dihancurkan)
lebak teu meunang dirusak (lembah tak boleh dirusak)
larangan teu minang dirempak (larangan tak boleh dilanggar)
buyut teu minang dirobah (buyut tak boleh diubah)
lojor teu minang dipotong (panjang tak boleh dipotong)
pondok teu minang disambung (pendek tak boleh disambung)
nu lain kudu dulainkeun (yang bukan harus ditiadakan)
nu ulah kudu diulahkeun (yang jangan harus dinafikan)
nu enya kudu dienyakeun (yang benar harus dibenarkan)"


Senang sekali rasanya pada tanggal 31 Januari hingga 2 Februari saya medapat kesempatan untuk berkunjung ke sana bersama teman-teman dari Kompas Khatulistiwa. Banyaknya bencana di Jakarta dan sekitarnya bahkan di beberapa kota di Indonesia membuat orang tua saya khawatir jika saya tetap mengikuti trip ini. Bahkan banyak teman-teman saya mengurung niatnya untuk mendaftar trip ini. Namun saya yakin, selama kita memilki tujuan baik ke suatu tempat dan selama kita menjaga kelestarian alam maka alam pun juga akan menjaga kita. Saya pun berangkat bersama  komunitas Kompas Khatulistiwa tanpa mengenal seorangpun.

 Pukul 8.00 WIB kami  yang berjumlah 12 orang berangkat dari Stasiun Tanah Abang menuju Stasiun Rangkas Bitung.  Setelah 3 jam perjalanan dengan kereta, perjalanan di lanjutkan dengan menaiki mobil Elf selama 2 jam menuju Ciboleger. sesampai di Ciboleger, kami istirahat sejenak untuk makan siang dan juga beribadah. Orang-orang Baduy pun sudah mulai terlihat. Saya terheran-heran melihat banyak orang-orang Baduy berwajah bersih dan berkulit mulus. 

    
Setelah itu kami menyusuri bukit dan menyeberangi sungai untuk menuju rumah penginapan kami. rumah tersebut adalah rumah milik keluarga tour guide kami bernama Mulyono yang akrab disapa Mul, salah satu warga Baduy Luar yang berusia 23 tahun. Karena ini adalah tracking panjang pertama saya  dengan barang bawaan hingga 2 tas berat (maklum jarang tracking panjang) dan di tambah darah rendah, saya pun menjadi peserta yang paling lamban berjalan. heheh.


Mul



"Kenapa kamu diberi nama Wahyu Mulyono, seperti nama orang bersuku Jawa bukan bersuku Baduy?, itulah pertanyaan yang saya ajukan kepada Mul. Mul menjelaskan bahwa dahulu ada seorang fotografer bernama Wahyu Mulyono yang sering menginap di rumah keluarga Mul. sehingga ketika Mul lahir, ia pun diberi nama sama persis dengan nama forografer tersebut.











 


Tentang Baduy
Setibanya di rumah Mul, sambil beristirahat,  kami pun berkenalan dan bertanya banyak hal tentang Baduy.  Rizky Bolang dan  Mul menjadi narasumber. Mul pun menceritakan mengenai riwayat hidupnya yang inspiratif. ternyata suku Baduy (baik Luar maupun Dalam) dilarang untuk bersekolah formal. mereka diperbolehkan menjadi pintar namun tidak boleh bersekolah formal, mereka harus belajar dari alam.




Mul sendiri masih belum benar-benar paham alasan larangan itu karena semua larangan dan aturan adat tidak ada yang tertulis, semua berupa lisan secara turun-temurun. Mul pun nekat untuk mengenyam pendidikan formal dengan Kejar Paket C dengan perjalanan yang tidaklah mudah. Bahkan ketua suku pun kerap kali menegurnya untuk tidak melanjutkan sekolah, namun Mul terus bersikeras untuk sekolah. Berkat kenekatannya mengikuti sekolah formal, sekarang ia dan keluarganya merintis perusahaan ternak ayam di luar wilayah Baduy.



Mul juga bercerita bahwa ada mitos tentang keberadaan hutan terlarang yang di dalamnya konon terdapat sebuah arca bernama Arca Domas yang dipercaya sebagai rahasia asal-usul Suku Baduy. Tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam hutan itu, bahkan hanya ketua suku saja yang diperbolehkan masuk. 

Sayang sekali kami belum bisa berkunjung dan menginap di Baduy Dalam karena sejak tanggal 2 Februari dan 1 bulan lamanya warga Baduy Dalam sedang melaksanakan upacara sakral dimana pengunjung tidak boleh menginap di sana. Sedangkan waktu tempuh perjalanan dari Baduy Luar menuju Baduy Dalam yakni 4 jam. Bisa dibayangkan jika kita ke sana tanpa menginap.. tepar.

Beberapa jam setelah kami beristirhat, kami berkeliling kampung sekitar menuju sungai dimana terdapat jembatan bambu khas Baduy. walaupun tidak bisa ke Baduy Dalam, kami tetap dapat menjumpai hal-hal menarik di Baduy Luar.

Kolam yang dibuat untuk merendam kayu agar kayu dapat lebih kuat dan tahan lama sebagai pondasi rumah. Caranya yakni dengan merendam kayu, campur dengan air dan lumpur. 

lumbung padi

Bertenun menjadi mata pencahrian wanita Baduy.




Sore hari kami kembali ke rumah penginapan milik Mul untuk membersihkan diri, mempersiapkan makan malam. karena tidak ada listrik maka seperti inilah susana bersantap malam...

Candle light dinner di setiap malam karena tidak ada listrik

Setiap seusai makan malam dan dikarenakan tidak adanya listrik maka kegiatan kami adalah saling bercerita dan saling bertukar pikiran tentang pengalaman, sejarah,  budaya, arkeogi, filsafat, politik, mistis, dll. senang rasanya dapat bertemu dengan teman-teman baru yang memiliki pengetahuan luas dan memiliki suatu ketertarikan yang sama.
keesokan pagi, kami berjalan menuju Danau Dangdang sekitar 1 jam dari rumah Mul. Setibanya di kawasan danau, kami beristirahat di sebuah saung di atas bukit, untuk mempersiapkan makan siang berupa nasi liwet ikan teri, ayam bakar, sambal kecap dan pisang bakar. kami pun menyantapnya bersama-sama dengan menggunakan 2 lembar daun pisang. MANTAP.






Setelah cacing-cacing di perut kanyang, kami berakit ria di danau. woohoo. 

Mencari kerang danau yang oleh masyarakat sekitar disebut "kijing" untuk menjadi lauk pauk kami.


3 hari menetap di Baduy Luar sambil mengenal budaya dan kelestarian alamnnya akan selalu terkenang di benak saya. Melihat dan merasakan langsung bagaimana keharmonisan yang terjalin antar manusia dan alam, makhluk yang diciptakan Sang Penguasa untuk saling menjaga. Walaupun masyarakat Suku Baduy tidak diperbolehkan sekolah formal dan hanya boleh menjadi pintar dengan belajar dari alam, pantas dijadikan contoh bagi orang-orang berpendidikan formal tinggi yang serakah, yang hanya mementingkat uang dan perutnya saja. Alam mampu membentuk kesadaran masyarakat Baduy untuk berperilaku baik, tidak egois, berbudi luhur, dan mampu menjaga alam sebagai harta warisan nenek moyang mereka. Semoga di masa mendatang, cara masyarakat Baduy mencinntai alam dapat dimasukkan dalam kurikulum pedidikan di Indonesia. 







Robin, Ryano, Ipul, Dudung, Dhina, Tika, saya, Fatiyah, Amrina, Fafa

Saya dan Dhina memakai outfit yang sama secara tidak sengaja hahah.

17 comments:

dunia kecil indi said...

menarik sekali, ya. kunjungan yang bermanfaat dan foto2nya juga indah sekali :)

Elizabeth Titus Kartika said...

@kak Indi: makasih kak Indi! :D

Clara Croft said...

Wah sudah sampai ke baduy ya? Saya belum :( gimana cara kesana Titus? Eh panggilnya Titus atau putri??

adittyaregas said...

huaannjiir, karen banget itu tempatnya. main2 air lagi -__-

Aul Howler's Blog said...

beautiful photos!

Sukaaaa

Elizabeth Titus Kartika said...

@Clara Croft halo kak Clara :D me love your blog banget! aku ikut acara dari komunitas Kompas Khatulistiwa. Juni nanti bakal ke Baduy Dalem. i hope you can join us :)

@AdityaRegas emang bagus bgt tempatnya :)

@AuL Howler: thank you! :D

Dunia Feby Andriawan said...

Mantap, kalo orang Indonesia semuanya benar-menar menjalankan amanat suku Baduy, dijamin pasti Indonesia udah jadi negara yang super saat ini. Gak ada korupsi. :D

Elizabeth Titus Kartika said...

@Febi Oktarista: setuju banget! :)

Unknown said...

wow, saya juga pengen ikutaaaaan.

beyourselfwoman said...

Teman2ku ada beberapa yang sudah ke Baduy tapi fotonya tidak sedetil ini. Thanks for sharing.

Elizabeth Titus Kartika said...

@ocha: mariii :)
@Lusiana: terimakasih yaa :)

Hendrik said...

Saya punya teman Om-Om sering berkunjung ke suku Baduy. Katanya disana tidak boleh membawa kamera dan sejenisnya. Untungnya teman saya ini piawai dalam menggambar. Jadi langsung digambar saja tanpa diphoto bisa menyaksikan keunikan suku Baduy. Teman saya bekerja di Hotel Aman Jiwo

Titus Kartika said...

@Muh. Hendrik : boleh membawa kamera namun tidak boleh digunakan di Baduy Dalam, hanya di Baduy Luar Saja, seperti foto2 di atas. wah kreatif sekali teman anda :)

Titus Kartika said...

@Muh. Hendrik : boleh membawa kamera namun tidak boleh digunakan di Baduy Dalam, hanya di Baduy Luar Saja, seperti foto2 di atas. wah kreatif sekali teman anda :)

cream arabian said...

suku baduy memang sangt kental sekali kebudayaan nya
tetap di jaga gan
terimakasih telah membagi cerita nya terhadap kami

TS Frima said...

Fotona keren-kere :)
Saya jadi pengen mengunjungi suku Baduy juga nih.
BTW, have a nice weekend :)

Alamanda said...

Wah, bagus banget nih tripnya gan. Nice writing ! Mantap!