Perjalanan Menguji Mental di Sumatra Barat

19 Juli 2018

Persiapan perjalanan saya kali ini sedikit rumit karena adanya sebuah gaun merah muda yang harus tetap dalam keadaan rapi di dalam carrier (tas untuk traveling). Ada gaun sebagai seragam brides maid yang akan saya kenakan di acara pernikahan salah satu sobat saya selama menjalani perkuliahan. Disa, gadis Minang yang melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya di Padang, Sumatra Barat.

Perjalanan udara dari Bandara Ngurah Rai menuju Jakarta untuk transit dimulai pukul 7 WITA tanpa meyaksikan hiburan favorit saya yakni matahari menyingsing. Pemandangan jendela yang semakin buram dan berwarna keabu-abuan menandakan bahwa pesawat semakin mendekati daratan Jakarta. Kota kelahiranku yang makin busuk dan semrawut akibat peraturan daerah dan kebijakan pemimpinnya yang sering kali "melawak" :))



Perjalanan ke Sumatera Barat kali ini menjadi pengalaman pertama saya menginjakan kaki di Tanah Minang, kota yang dikenal dengan kulinernya yang begitu dahsyat nikmatnya. Culture shock sempat saya alami dalam perjalanan kali ini. Bermula di airbrige menuju bus pengantar ke pesawat, saya cukup heran dengan kondisi para penumpang yang berdesak-desakan dan dorong-mendorong. 

Uji mental berlanjut setibanya saya di Bandara Minangkabau. Setelah saya menemui sobat kosan dan perkuliahan yakni Nadia di area Kedatangan, kami keluar bandara dan berdiskusi mengenai transport apa yang hendak kami gunakan selanjutnya untuk bertemu Disa. Banyak supir dan travel agent yang lalu lalang sambil menawarkan jasanya pada kami. Namun kami tolak dengan sopan. Seorang pria berusia setengah abad mengikuti kami terus. Ia bertanya kemana tujuan kami berkali-kali sambil menawarkan jasanya. Berkali-kali pula kami jawab "belum tahu, Pak. masih menunggu kabar teman". Respon beliau berupa "semoga kalian tak akan menemukan apa yang kalian cari" sontak membuat kami tercengang dan bingung. Ada apa gerangan?



Uji mental berlanjut di acara pernikahan Disa dan Bimo saat saya mengantri makanan di meja sate. Seorang ibu berusia sekitar 50 tahun menyerobot makanan yang hendak diberikan oleh penyaji pada saya. Ketika saya tegur tentang budaya mengantri, beliau malah merasa terdzolimi dan mengelus dada, bergeleng-geleng kepala dan berkata-kata dalam bahasa daerah. Seakan-akan saya yang salah.


Beberapa culture shock yang saya alami tak membuat saya kesal atau bersedih. Pelisiran saya di Tanah Minang yang membuat saya bahagia selain momen pernikahan sobat saya, makan masakan Padang juga tentunya! Tubuh semakin menggempal akibat nikmatnya makanan-makanan Tanah Minang; sate Padang, nasi Kapau, soto Padang, seafood, dendeng, empal, dll. Terberkatilah leluhur orang Minang yang menciptakan mahakarya kuliner ini! Onde mande nikmatnyo! Tak ada makanan yang tak enak yang saya makan di Sumatra Barat.

Oiya, ini semua saya nikmati sebelum saya berikrar untuk tidak makan daging lagi (pescatarian). Untungnya kala saya berwisata di Padang, saya masih menjadi meat lover. alhasil saya bisa puas mencicipi kekayaan kuliner warga Minang. 







           





                             



Sumatra Barat, 5-9 Juli 2019

No comments: