8 Desember 2017
"Alangkah mengerikannya
menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan,
ketakutan datang terlambat di kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah
semangat, dan kehidupan seperti mesin…", kata Gumira Ajidarma dalam Menjadi Tua di Jakarta.
Persis menggambarkan keadaan mengerikan saya di ibukota. Sekali lagi, gambaran yang saya rasakan (jadi belum tentu semua orang merasakan hal yang sama). Jenuh akan rutinitas di kantor, jenuh akan
kemacetan, jenuh akan asap-asap hitam yang keluar dari kendaraan, jenuh akan kebisingan, menjadi segelintir
alasan saya untuk mencari peluang kehidupan yang ‘’layak’’ bagi jiwa saya di
daerah, bukan di kota. Walaupun saya tahu ada sebagian
besar orang yang menempati kota besar ini dapat melewati hari-hari mereka dengan keadaan
yang digambarkan oleh Ajidarma serta merasa tidak keberatan. Walaupun saya berkeyakinan bahwa dalam setiap
perjalanan dan situasi yang entah itu baik atau buruk, pasti ada segelintir orang
baik hati dan menjadi pelipur lara. Tapi ah sudahlah, kali ini saya sudah tak ada gairah untuk menjalani rutinitas di perkotaan.
Hijrah ke Bali
Semakin bersemangat untuk melangkahkan kaki dari ibukota menuju pulau
idaman saya, Bali kala mendapat kabar bahwa sebuah perusahaan di Jimbaran
merekrut saya. Sebuah kamar beukuran
3x3m di bangunan kosan berlantai tiga yang berdiri di atas bukit menjadi
pilihan tempat yang saya sebut “sarang” atau “rumah”. Bangunan beratap fantastis, begitu
saya menyebutkan. Atap yang menjadi tempat saya berpijak untuk menikmati warna-warni senja, megahnya Gunung Agung, pahatan seni patung Garuda Wisnu Kencana
di atas bukit seberang, pantai Jimbaran, dan malam bertabur bintang.
Pemandangan di sore hari dari atap fantastis kosan yang saya tempati. |
Jendela berukuran cukup besar yang
terpasang di kamar menghadap ke pepohonan dan kebun tempat sapi-sapi warga
bersantap dan bersantai ria sambil mengalunkan suara lonceng di leher-leher
mereka. Dari jendela yang terbuka itu pula sering terdengar alunan musik khas
Bali, suara kokok ayam dan kicauan merdu burung-burung. Inilah alarm saya tiap pagi.
Senja dari jendela kosan |
Perjalanan menuju kantor dengan melewati sawah-sawah, kebun, hutan, keramahan
warga, dan tidak tejebak kemacetan (ada kemacetan di sekitar, namun saya tidak
terjebak) serasa memberi saya energi untuk beraktifitasdi pagi hari. Kaca-kaca
jendela yang mengelillingi kantor menyuguhkan pemandangan berupa hutan kecil, pura, dan kebun-kebun menjadi penyegar mata saat lelah dan kantuk. Kadang, tingkah laku beragam
jenis wisatawan yang berfoto bersama bangkai pesawat yang terpajang di tengah
permukiman penduduk bisa saya saksikan dari kaca jendela di ruangan saya. Kadang
menghibur, kadang menjengkelkan. Tidak
hanya wisatawan, aktifitas sekelompok burung bangau putih yang melintas di
langit di jam-jam tertentu juga saya bisa saksikan tiap hari.
Bekerja dengan pikiran segar dan hati gembira, begitu saya
mendeskripsikan waktu saya bekerja. Jam kerja yang dimulai pukul 10 pagi, kadang saya mulai pukul 9 pagi. Cahaya kuning keemasan di langit dan warna
merah muda mulai mewarnai awan-awan yang bergerak perlahan menjadi tanda bahwa
sore hari telah menjelang. Di bawah cahaya senja, motor yang saya naiki melaju
menuju sarang saya atau ke suatu tempat untuk bertemu kawan.
Bersama seorang
sobat bernama Chatar, kami piknik di sebuah pantai sepi. Setelah cacing-cacing di perut kenyang, kami menggelar kain di tepi pantai sebagai alas tidur siang. Nikmat sekali bersantai di bawah sinar mentari sambil
mendengarkan deburan ombak dan lagu-lagu folk Indonesia dan lagu-lagu bossa nova melalui telepon genggam saya.
Selang satu jam, saat kami mulai terlelap, ada teriakan "awas ombak besar" disertai air laut yang mengguyur badan kami. Panik. 2 telepon genggam kami, cemilan, kain, dan sandal-sandal kami hanyut terbawa ombak. Sekali lagi… hanyut. Badan lemas sambil menghela nafas dalam di pinggir pantai sambil berharap ada mukzizat benda-benda itu kembali ke daratan. Kami cukup beruntung saat itu, ada dua wisatawan yang membantu kami meraih sandal-sendal kami yang terus terombang-ambing bersama ombak. Tak terbayang bila kami pulang tanpa sandal sedangkan jalanan beraspal.. berapa banyak nanah dan darah yang keluar dari kaki kami :(
Selang satu jam, saat kami mulai terlelap, ada teriakan "awas ombak besar" disertai air laut yang mengguyur badan kami. Panik. 2 telepon genggam kami, cemilan, kain, dan sandal-sandal kami hanyut terbawa ombak. Sekali lagi… hanyut. Badan lemas sambil menghela nafas dalam di pinggir pantai sambil berharap ada mukzizat benda-benda itu kembali ke daratan. Kami cukup beruntung saat itu, ada dua wisatawan yang membantu kami meraih sandal-sendal kami yang terus terombang-ambing bersama ombak. Tak terbayang bila kami pulang tanpa sandal sedangkan jalanan beraspal.. berapa banyak nanah dan darah yang keluar dari kaki kami :(
Pantai Melasti. |
Saya ingin ucapkan terima kasih pada teman-teman pelipur lara di
perusaaan tempat saya bekerja dahulu :
- Karina
a.k.a Tuyul
- Bunda Debora Istri Yasirun
- Nadjusca
yang sekarang sudah hengkang juga
-
Kak Nadia,
juragan makanan
- Kak Rika,
ibu peri + juragan makanan
-
Nabila,
gadis Bekasi tergemash
-
Latif
a.k.a Bedul, temen diskusi
-
Pak Agus,
karyawan termuda
- Boncabeteam,
Mickey, Kak Valery, dan tim pemutaran layar tancep film horror.
serta terima kasih saya ucapkan pada Chatar yang memberikan tempat bernaung selama kurang lebih sebulan.
No comments:
Post a Comment