Having Balinese Purification Ritual as My Birthday Celebration

In the past 5 years, I celebrate my birthday by having "me" time such as traveling by myself or doing something new. This year, I celebrated my birthday and welcoming the quarter-life-crisis by having 'melukat', purification and healing ritual in one of the most sacred places in the island of Gods, in order to cleanse my mind, soul, body, and get rid negative energy that linger around me. I chose Sebatu holy spring and temple among lush forest because it's not touristy so i could have a lot of time for serenity in nature. 

 

It's worth to wake up at 5 AM and started the journey from Kuta at 6 AM. I always enjoy the feeling of the fresh Bali cold air in the morning eventhough in Kuta, the most touristy area in Bali. We went straight and seamless to Sebatu Holy Spring and Temple in Gianyar, pretty close to Ubud. Just a bit traffic when we pass the traditional markets, but I didn't mind at all. Since i was little, traditional market is such a fun and delightful place to visit, to observe, and aesthetic view to stare at. I see the captivating activities in traditional market such as the bargain and the chit chat between the buyers and sellers in some languages, how people carry the groceries, the various colorful groceries in the traditional woven baskets. Everyone seems friendly, nice, and get along. This place always recalls my childhood memory when I used to accompanied my mother shopping. 


 
Still in the same cold morning at 8 AM, we arrived at parking lot of Sebatu Holy Spring. There wasn't any other visitor, only the four of us (Mbok Dayu, Mbok Sri, Bli Made, and I). A few Balinese sellers offered us small triangle Balinese offerings for 'melukat' (purification ritual), white small size of jerrycan for carry holy water, mineral water, and snacks. 



First Stop
Right before the first stair to go down the hill to the holy water spring, my Balinese friends prayed to ask the good spirits and also bad spirits a permission to visit this holy place. Balinese believes equilibrium in life: the good spirit and the bad spirit should be respected.






Second Stop
As we walked down the jungle to the first little temple beside the water spring in 10 minutes, the fresh air and lush huge plants covered us from the heat of the sunshine. After we put an offering on the stare of the little temple that covered in moss, we prayed and also asked the good and the bad spirits a permission again. We continue the ritual by washing our head and face with the cold holy water springs. 


ThirdStop
We kept walking down the hill on the concrete stairs. We put canang offerings on a bamboo table covered in silk, between yellow and white umbrella.



Fourth Stop
The sound of the river stream was getting louder while we walked down to the next temple. On the stair of the temple, we put a special offering called banten pejati (a group of balinese offerings in one basket for our protection during visiting sacred place, before ritual, or before ceremony) because it's my first time entering this sacred place. We prayed to Gods and asking a permission again to the good spirits and also the bad spirits.  


Slowly but carefully, each of us brought a canang as our protection while we went down the river to wash our body with the holy water spring that comes from the little waterfall. It was a mixed feeling, but 70% of me was afraid. Afraid of meeting a snake. But some of my Balinese friends were afraid to having melukat (purification ritual) in Sebatu after hearing the news that some people were possessed during melukat, which indicated that they learn black magic or attacked by black magic.
My second round to melukat in Sebatu holy spring and temple.
The cold holy water poured down from the hill to my head and then my entire body rapidly. My fear of snake a bit faded away but it still remain as i close my eyes and faced to the huge stone where the holy water streamed. Our bodies were still shivering after the purification ritual, but we still had to sit down in front of the temple to pray again and mention our wishes with colorful flowers in my hands and my hairs. At the end of the purification ritual, a holy water that had been chanted a mantra by Balinese priest was splashed over my head and splashed to my two hands to drink.
Matur suksma (thank you), Universe.I feel so grateful for my flowery hair, blessing, good vibe, and being surrounded by kind-hearted people. 

Special thanks to:
- Mbok Dayu, Mbok Sri, Bli Made who arranged purification ritual for me, help me to learn Balinese language, Balinese culture, and also waiting for me in 2 hours while i was snorkeling after purification ritual
- my Bali babes (Ceceuk Mega and Dedek Chaty) for the surprise on Sanur beach.




10-11th of August 2019
Ubud - Padang Bai - Sanur

Rest in Peace, Bang Badil, one of the coolest legend i've known

13 Juli 2019

Sore itu di tahun 2017 sekitar bulan Maret, saya bergegas menuju Sekretariat Mapala UI setelah jam kerja berakhir untuk nonton bersama film komedi tahun 90an dari grup lawak terkemuka, Warkop DKI. Tertulis di undangan Reboan (acara santai yang diselenggarakan anggota Mapala UI) bahwa sang pendiri grup lawak Warkop Prambors (sebelum menjadi Warkop DKI) sekaligus senior kami akan hadir. Saya tahu, yang dimaksud adalah Bang Badil (Rudy Badil), yang lebih dikenal sebagai salah satu saksi hidup aktivis tahun 1968 bernama Soe Hok Gie yang meninggal di Gunung Semeru, serta dikenal sebagai wartawan senior Kompas. Sebagian dari kami mengenalnya sebagai mentor jurnalistik sekaligus pemilik camping ground Taman Safari sebagai lokasi kami menyusun majalah Jejak.

Sebuah mobil baru saja terparkir di pinggir jalan depan Sekretariat Mapala UI. Saya dan beberapa kawan langsung menyambut sosok yang ada di dalamnya. Bang Badil, sosok yang menjadi bintang utama di acara Reboan kali ini. Dengan sigap saya dan beberapa orang menyambut dan menuntun Bang Badil yang sudah renta dari lokasi terparkirnya mobil hingga ia duduk di dalam Sekretariat Mapala UI. Tak lupa cipika-cipiki (cium pipi kiri, cium pipi kanan) saat bertemu kami. "Ciri khas anak dansa" katanya. Hal ini dilakukannya sejak ia belajar dansa selama kuliah .

Saya duduk di samping Bang Badil saat film komedi Warkop DKI diputar. Tiba-tiba Bang Badil berucap pada saya "duh gue sedih tiap nonton film Warkop. Gue kangen temen-temen gue. Gue bisa sampe nangis kalo nonton film Warkop". Saya pun  kaget "Bang Badil bisa nangis?". Senior kami yang satu ini dikenal multi talenta, galak dan suka marah-marah. Tapi di balik kegalakannya, kami sadar ada hal baik yang berguna buat kami.

Kalau afterlife beneran ada, semoga sekarang Bang Badil udah happy bisa reuni bareng sobat-sobat lawak sejak masa muda (Dono, Kasino, dan Nanu). Kita bakal kangen denger cerita-cerita dari Bang Badil tentang masa-masa kejayaannya: keliling dunia dan pelosok untuk nulis, belajar masak, dansa, bikin film, tragedi ekspedisi Gunung Semeru bareng Soe Hok Gie, beragam cerita di Mapala UI, menang lomba nulis, menang lomba fotografi, kegiatan ngelawak bareng Warkop Prambors, tentang kisah asmaranya, dan hal-hal keren lainnya. 

Rest in peaceful sleep, Bang Badil, idola mahasiswi-mahasiswi UI tahun 60an. Terima kasih atas ilmu, kisah-kisah inspiratif, dan juga privilege selama kita camping di Taman Safari untuk masuk ke kandang harimau dan kandang panda yang saat itu belum dibuka untuk umum, dan kasih izin kita untuk main seluncuran air bah sepuasnya. Oiya "jangan marah-marah lagi bang di sana", "malaikat jangan dimarahin, bang".

Salam, 
salah satu anggota Badil fans club.  



Foto bersama Bang Badil dan senior-senior Mapala UI saat menyusun majalah Jejak 2017.

Perjalanan Menguji Mental di Sumatra Barat

19 Juli 2018

Persiapan perjalanan saya kali ini sedikit rumit karena adanya sebuah gaun merah muda yang harus tetap dalam keadaan rapi di dalam carrier (tas untuk traveling). Ada gaun sebagai seragam brides maid yang akan saya kenakan di acara pernikahan salah satu sobat saya selama menjalani perkuliahan. Disa, gadis Minang yang melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya di Padang, Sumatra Barat.

Perjalanan udara dari Bandara Ngurah Rai menuju Jakarta untuk transit dimulai pukul 7 WITA tanpa meyaksikan hiburan favorit saya yakni matahari menyingsing. Pemandangan jendela yang semakin buram dan berwarna keabu-abuan menandakan bahwa pesawat semakin mendekati daratan Jakarta. Kota kelahiranku yang makin busuk dan semrawut akibat peraturan daerah dan kebijakan pemimpinnya yang sering kali "melawak" :))



Perjalanan ke Sumatera Barat kali ini menjadi pengalaman pertama saya menginjakan kaki di Tanah Minang, kota yang dikenal dengan kulinernya yang begitu dahsyat nikmatnya. Culture shock sempat saya alami dalam perjalanan kali ini. Bermula di airbrige menuju bus pengantar ke pesawat, saya cukup heran dengan kondisi para penumpang yang berdesak-desakan dan dorong-mendorong. 

Uji mental berlanjut setibanya saya di Bandara Minangkabau. Setelah saya menemui sobat kosan dan perkuliahan yakni Nadia di area Kedatangan, kami keluar bandara dan berdiskusi mengenai transport apa yang hendak kami gunakan selanjutnya untuk bertemu Disa. Banyak supir dan travel agent yang lalu lalang sambil menawarkan jasanya pada kami. Namun kami tolak dengan sopan. Seorang pria berusia setengah abad mengikuti kami terus. Ia bertanya kemana tujuan kami berkali-kali sambil menawarkan jasanya. Berkali-kali pula kami jawab "belum tahu, Pak. masih menunggu kabar teman". Respon beliau berupa "semoga kalian tak akan menemukan apa yang kalian cari" sontak membuat kami tercengang dan bingung. Ada apa gerangan?



Uji mental berlanjut di acara pernikahan Disa dan Bimo saat saya mengantri makanan di meja sate. Seorang ibu berusia sekitar 50 tahun menyerobot makanan yang hendak diberikan oleh penyaji pada saya. Ketika saya tegur tentang budaya mengantri, beliau malah merasa terdzolimi dan mengelus dada, bergeleng-geleng kepala dan berkata-kata dalam bahasa daerah. Seakan-akan saya yang salah.


Beberapa culture shock yang saya alami tak membuat saya kesal atau bersedih. Pelisiran saya di Tanah Minang yang membuat saya bahagia selain momen pernikahan sobat saya, makan masakan Padang juga tentunya! Tubuh semakin menggempal akibat nikmatnya makanan-makanan Tanah Minang; sate Padang, nasi Kapau, soto Padang, seafood, dendeng, empal, dll. Terberkatilah leluhur orang Minang yang menciptakan mahakarya kuliner ini! Onde mande nikmatnyo! Tak ada makanan yang tak enak yang saya makan di Sumatra Barat.

Oiya, ini semua saya nikmati sebelum saya berikrar untuk tidak makan daging lagi (pescatarian). Untungnya kala saya berwisata di Padang, saya masih menjadi meat lover. alhasil saya bisa puas mencicipi kekayaan kuliner warga Minang. 







           





                             



Sumatra Barat, 5-9 Juli 2019

Empat Jam Menyaksikan Pertunjukan Mistis, Calonarang

14-15 Juli 2018
Saya mengenakan pakaian adat Bali sebelum mengikuti upacara dan pementasan Calonarang.

Untuk pertama kalinya saya menyaksikan orang kerasukan masal di sekitar saya. Dari penari-penari pertunjukan Calonarang, bahkan penonton yang sedang berada di kanan, kiri, depan, dan belakang saya, kemanapun saya berpindah lokasi berdiri.



Suasana mistis mulai terasa sekitar pukul 12 malam. Lampu arena pertunjukkan semakin redup dan semakin banyak penari yang kerasukan. Semenit belum berlalu, setelah saya ngobrol bersama pria yang duduk di samping kanan saya (nama disamarkan) dan 2 orang di belakang saya. Tiba-tiba ia berteriak-teriak sambil berlari ke arena pertunjukkan lalu menari-nari. 5 menit kemudian, pria yang juga baru saja ngobrol dengan saya juga turut kerasukan.







Dari berbagai arah dan sudut, tua dan muda, laki-laki dan perempuan, penonton dan penari kerasukan mengikuti alur cerita pertunjukan yang berlangsung sekitar 4 jam (dari jam 11 malam hingga 3 pagi). Penonton dilarang pulang sebelum pertunjukan usai karena dipercaya oleh warga lokal dan berdasarkan pengalaman mereka, banyak kejadian mistis yang terjadi di jalan jika ada penonton yang pulang sebelum pertunjukkan usai (ini berkaitan dengan leak).

Pertunjukan yang diselenggarakan di dekat area kuburan ini bernama Calonarang. Mengisahkan seorang janda tua yang hidup pada masa Kerajaan Airlangga dan dituduh mengajarkan ilmu hitam oleh warga desa. Kutukan Calonarang manjur, warga desa terkena musibah.

Suasana makin mistis saat sesajen berupa seekor anak babi digorok di tengah area pertunjukkan. Diiringi penari Calonarang (dalam wujud cukup menakutkan) masuk arena pertunjukkan.

orang-orang yang kerasukan semakin berteriak histeris dan jumlah yang kerasukan semakin banyak, serta bervariasi. Sebagian mengambil keris untuk ditusuk-tusukan ke diri mereka dan ke penari Calonarang hingga keris-keris tersebut bengkok dan patah.

Jam menuju pukul 3 pagi. Adegan barong melawan Calonarang diiringi orang-orang yang kerasukan yang terus menusuk-nusukan diri mereka dan sebagian menari. Tumbangnya Calonarang dan pemain Calonarang menjadi akhir dari pertunjukan.



Jika saya ditanya bagaimana rasanya menyaksikan tarian sakral ini? lemas disertai panik, dan bingung mau lari kemana, sedangkan ada larangan pulang sebelum pertunjukan benar-benar usai. Larangan ini berkaitan dengan mitos leak. Setiap saya berdiri di suatu spot, selalu ada yang kerasukan di kiri, kanan, depan, maupun belakang saya. Suatu ketika, saya mengambil posisi dekat arena. Sebelah kiri saya tembok pura, kanan saya seorang perempuan, di depan saya ada orang-orang yang kerasukan sambil menusuk-nusuk diri mereka dengan keris, sedangkan di belakang saya ada pagar pura. Tiba-tiba saja, perempuan yang berdiri di sebelah kanan saya yang baru saja bercengkrama dengan kawan-kawannya, kerasukan. Saya stuck di spot itu dan hanya bisa menangkis gerakan-gerakan perempuan yang kerasukan itu.







Galungan & Kuningan di Ubud 2018

3 Juni 2018 

When the whole island is beautifully decorated with panjor during Galungan day. 
Rahajeng Galungan lan Kuningan, warga Bali :) 

A Short Getaway to Another Paradise, Lombok

10th of  May 2018


Kapanpun saya menaiki mobil, bus, kereta, mobil pick up, maupun pesawat, saya selalu berusaha mendapatkan kursi di samping jendela. Pemandangan menjadi hal penting dalam perjalanan. Dari Bandara Ngurah Rai menuju Bandara Praya, Lombok saya menikmati pemandangan yang disuguhkan di luar jendela. Satu jam perjalanan udara melewati awan-awan dan puncak-puncak gunung sambil menyaksikan senja dari ketinggian. Rugi jika dilewatkan hanya dengan memejamkan mata. 

Mendekati bandara Lombok, semakin terlihat jelas lahan-lahan hijau nan begitu luas. Jauh lebih luas lahan hijau dibanding lahan yang permukaannya didirikan bangunan-bangunan. "Sepertinya, pulau ini tidak seperti Bali", pikir saya. Bali memang cantik, dari pesona budaya dan alamnya. Sayangnya kini lahan-lahan hijau semakin berkurang, berganti alih menjadi bangunan-bangunan penginapan, tempat hiburan, dan permukiman pendudu. Sektor pariwisata selalu ditingkatkan, namun kurang memperhatikan alam. Akibatnya, udara semakin panas, polusi meningkat, dan banyak lokasi kotor akibat sampah-sampah yang dibuang sembarangan. 

Sekitar pukul 18.30 WITA saya telah berada di Bandara Praya, Lombok. Tak ada kendaraan umum yang menuju daerah Kuta, lokasi homestay yang akan saya tinggali selama 3 hari ke depan. Tak tega juga jika saya menerima tawaran kawan untuk menjemput saya dari Kuta menuju Praya lalu kembali ke Kuta. Lagipula perempuan harus mandiri, kan? :)   Maka saya pun berusaha menemukan ojek online. Selama sejam tidak ada yang mengambil pesanan di aplikasi. Hanya ada taksi dan taxi online. Beberapa supir taxi mulai menawarkan jasa mereka pada saya dan orang-orang hingga membuntuti saya kemanapun saya pergi di dalam bandara. Hal inilah yang membuat saya sedikit was-was. 

Tri Putri homestay, tempat saya bernaung sekaligus tempat pertemuan saya dengan kawan-kawan baru dalam menjelajah Lombok selama tiga hari. Seperti biasa, traveling selalu menjadi sarana saya dalam mendapatkan kawan baru, pengetahuan baru, dan pengalaman baru. 

Pagi itu, dengan menebeng seorang kawan, Jesse  menuju ke suatu sungai dan kebun-kebun yang menjadi habitat monyet-monyet. 15 menit berlalu, namun tak ada satu monyet pun yang saya lihat. Sedangkan tiap kali saya bertanya pada warga, mereke manjawab "biasanya ada banyak di sini". Adanya dua kegiatan pembangunan rumah dan kehadiran para pekerja di dekat sungai sepertinya menjadi alasan mengapa monyet-monyet menjauh. Saran warga untuk mengikuti aliran sungai  sudah saya ikuti, namun tidak ada satupun monyet yang saya lihat. 

Niat untuk membaca buku di sekitar lokasi habitat monyet saya urungkan karena kegiatan pembangunan menggunakan mesin sedikit mengganggu pendengaran. Pantai Kuta, menjadi lokasi pihan lain. Banyak orang yang mengatakan bahwa pantai ini adalah pantai turistik di Lombok dan letaknnya di kota. Namun ketika saya tiba di sana, suasana terbilang sepi (jika dibandingkan dengan pantai-pantai di Bali), airnya begitu jernih, langit terlihat begitu biru cerah. Rasanya ingin mengabadikan setiap pemandangan yang saya lihat. 



Di saat suasana sepi,  seorang wanita muda menghampiri saya sambil menawarkan kain-kain tenunan khas Lombok.  Bu Rus namanya, wanita kelahiran Suku Sasak. Ia mengajak dan  saya untuk berkunjung ke desanya, yakni Desa Sade yang terkenal sebagai desa kuno di Lombok dan terkenal akan kerajinan  kain tenun. 


Ibu Rus
Desa Sade merupakan desa kuno yang dibentuk sekitar 600 tahun lalu, berlokasi sekitar 20 menit dari Bandara Praya. Semua bangunan di desa ini merupakan bangunan khas Lombok yang terbuat dari dinding berbahan bambu, atap berbahan jerami, dan lantai berbahan semen yang dilapisi kotoran kerbau setiap setahun sekali. Lantai berbahan semen ini sengaja dilumuri kotoran kerbau setiap setahun sekali agar terus kokoh dan hal ini mereka yakini untuk menjauhi hal magis. Di sini kita juga dapat menyaksikan aktifitas masyarakat suku Sasak sehari-hari, yakni menenun kain bagi kaum hawa dan bertani bagi kaum laki-laki.







Puas berkeliling  Desa Sade yang merupakan desa asal Bu Rus, kami berdua mengunjungi desa tempat tinggal keluarga baru Bu Rus  yang juga sekaligus desa asal suaminya. Tiga bocah berlari menghampiri Bu Rus dan memeluknya, kemudian menghampiri dan memeluk saya. Satu di antaranya yakni Rusli, bocah berusia 4 tahun anak pertama Bu Rus. Mereka menempati rumah mungil berupa bangunan khas Lombok tanpa toilet. Sempat saya bertanya dimana penghuni yang ingin buang air besar. Ia menjawab, bisa dilakukan di semak-semak dan kebun. Sebetulnya ini hal yang wajar  dilakukan saat bergiat di alam bebas seperti naik gunung, namun hal ini yang membuat saya agak khawatir bahwa saya menginjak kotoran, mengingat perjalanan ke rumah Bu Rus harus dilakukan dengan berjalan kaki melewati perkebunan. 



Sambil menyeruput kopi khas Lombok sebagai jamuan keluarga Bu Rus dan menikmati semilir angin di teras bambu, saya dan keluarga Bu Rus berbincang-bincang mengenai adat setempat. 



Salah seorang tetangga Bu Rus yang sedang mengadakan pesta persiapan pernikahan mengajak saya untuk mampir sejenak dan makan siang bersama warga lokal. Sayangnya, siang itu saya sudah terlebih dahulu diundang makan siang bersama warga lokal lain yakni keluarga Kodi dan Mei. Keluarga warga desa di Lombok, kawan Jesse. 

Siang hingga sore, saya habiskan di Pantai Kuta untuk berenang, mendengarkan musik, membaca buku, dan tidur siang.




Keesokan siang,  saya, Paddy, dan Rick menuju Pantai Mawi yang jaraknya dapat ditempuh kurang lebih 30 menit dari Kuta. Pantai ini mereka pilih sebagai lokasi surfing dengan ombak yang besar dan tidak turistik. Tak mudah untuk menuju lokasi. Kami harus melewati jalanan berupa tanah, pasir, dan bebatuan. Namun pemandangan alam berupa perbukitan hijau, lahan-lahan hijau, para warga lokal yang tersenyum dan menyapa kami, jalanan yang begitu sepi, dan bangunan-bangunan tradisional yang saya temui di sepanjang perjalanan membuat saya kagum dan tak melepaskan kamera telepon genggam. Saya pernah melihat pemandangan seperti ini, namun pada foto-foto Pulau Bali yang diambil sekitar tahun 1980an-1990an.





Ombak Pantai Mawi yang tak tinggi saat itu membuat kedua kawan saya agak sedikit kecewa. Namun tidak dengan saya hehe. Saya bisa berenang dengan nyaman, ditambah dasar pantai yang dipenuhi pasir bukan koral. 


Rick, seorang gitaris asal Inggris yang pernah beruntung menjadi opening act untuk band Rolling Stone, tahu bahwa saya suka mendokumentasikan perjalanan. Ia pun mengantar saya untuk melihat tempat-tempat menawan dari Mawi menuju Kuta. 




Hari ketiga, saya harus kembali ke Pulau Dewata walaupun masih ingin menetap di Lombok lebih lama.  Pagi itu saya diantar oleh Bu Tina, tetangga Bu Rus menuju pasar lokal kemudian menuju Bandara Praya.