A Short Getaway to Another Paradise, Lombok

10th of  May 2018


Kapanpun saya menaiki mobil, bus, kereta, mobil pick up, maupun pesawat, saya selalu berusaha mendapatkan kursi di samping jendela. Pemandangan menjadi hal penting dalam perjalanan. Dari Bandara Ngurah Rai menuju Bandara Praya, Lombok saya menikmati pemandangan yang disuguhkan di luar jendela. Satu jam perjalanan udara melewati awan-awan dan puncak-puncak gunung sambil menyaksikan senja dari ketinggian. Rugi jika dilewatkan hanya dengan memejamkan mata. 

Mendekati bandara Lombok, semakin terlihat jelas lahan-lahan hijau nan begitu luas. Jauh lebih luas lahan hijau dibanding lahan yang permukaannya didirikan bangunan-bangunan. "Sepertinya, pulau ini tidak seperti Bali", pikir saya. Bali memang cantik, dari pesona budaya dan alamnya. Sayangnya kini lahan-lahan hijau semakin berkurang, berganti alih menjadi bangunan-bangunan penginapan, tempat hiburan, dan permukiman pendudu. Sektor pariwisata selalu ditingkatkan, namun kurang memperhatikan alam. Akibatnya, udara semakin panas, polusi meningkat, dan banyak lokasi kotor akibat sampah-sampah yang dibuang sembarangan. 

Sekitar pukul 18.30 WITA saya telah berada di Bandara Praya, Lombok. Tak ada kendaraan umum yang menuju daerah Kuta, lokasi homestay yang akan saya tinggali selama 3 hari ke depan. Tak tega juga jika saya menerima tawaran kawan untuk menjemput saya dari Kuta menuju Praya lalu kembali ke Kuta. Lagipula perempuan harus mandiri, kan? :)   Maka saya pun berusaha menemukan ojek online. Selama sejam tidak ada yang mengambil pesanan di aplikasi. Hanya ada taksi dan taxi online. Beberapa supir taxi mulai menawarkan jasa mereka pada saya dan orang-orang hingga membuntuti saya kemanapun saya pergi di dalam bandara. Hal inilah yang membuat saya sedikit was-was. 

Tri Putri homestay, tempat saya bernaung sekaligus tempat pertemuan saya dengan kawan-kawan baru dalam menjelajah Lombok selama tiga hari. Seperti biasa, traveling selalu menjadi sarana saya dalam mendapatkan kawan baru, pengetahuan baru, dan pengalaman baru. 

Pagi itu, dengan menebeng seorang kawan, Jesse  menuju ke suatu sungai dan kebun-kebun yang menjadi habitat monyet-monyet. 15 menit berlalu, namun tak ada satu monyet pun yang saya lihat. Sedangkan tiap kali saya bertanya pada warga, mereke manjawab "biasanya ada banyak di sini". Adanya dua kegiatan pembangunan rumah dan kehadiran para pekerja di dekat sungai sepertinya menjadi alasan mengapa monyet-monyet menjauh. Saran warga untuk mengikuti aliran sungai  sudah saya ikuti, namun tidak ada satupun monyet yang saya lihat. 

Niat untuk membaca buku di sekitar lokasi habitat monyet saya urungkan karena kegiatan pembangunan menggunakan mesin sedikit mengganggu pendengaran. Pantai Kuta, menjadi lokasi pihan lain. Banyak orang yang mengatakan bahwa pantai ini adalah pantai turistik di Lombok dan letaknnya di kota. Namun ketika saya tiba di sana, suasana terbilang sepi (jika dibandingkan dengan pantai-pantai di Bali), airnya begitu jernih, langit terlihat begitu biru cerah. Rasanya ingin mengabadikan setiap pemandangan yang saya lihat. 



Di saat suasana sepi,  seorang wanita muda menghampiri saya sambil menawarkan kain-kain tenunan khas Lombok.  Bu Rus namanya, wanita kelahiran Suku Sasak. Ia mengajak dan  saya untuk berkunjung ke desanya, yakni Desa Sade yang terkenal sebagai desa kuno di Lombok dan terkenal akan kerajinan  kain tenun. 


Ibu Rus
Desa Sade merupakan desa kuno yang dibentuk sekitar 600 tahun lalu, berlokasi sekitar 20 menit dari Bandara Praya. Semua bangunan di desa ini merupakan bangunan khas Lombok yang terbuat dari dinding berbahan bambu, atap berbahan jerami, dan lantai berbahan semen yang dilapisi kotoran kerbau setiap setahun sekali. Lantai berbahan semen ini sengaja dilumuri kotoran kerbau setiap setahun sekali agar terus kokoh dan hal ini mereka yakini untuk menjauhi hal magis. Di sini kita juga dapat menyaksikan aktifitas masyarakat suku Sasak sehari-hari, yakni menenun kain bagi kaum hawa dan bertani bagi kaum laki-laki.







Puas berkeliling  Desa Sade yang merupakan desa asal Bu Rus, kami berdua mengunjungi desa tempat tinggal keluarga baru Bu Rus  yang juga sekaligus desa asal suaminya. Tiga bocah berlari menghampiri Bu Rus dan memeluknya, kemudian menghampiri dan memeluk saya. Satu di antaranya yakni Rusli, bocah berusia 4 tahun anak pertama Bu Rus. Mereka menempati rumah mungil berupa bangunan khas Lombok tanpa toilet. Sempat saya bertanya dimana penghuni yang ingin buang air besar. Ia menjawab, bisa dilakukan di semak-semak dan kebun. Sebetulnya ini hal yang wajar  dilakukan saat bergiat di alam bebas seperti naik gunung, namun hal ini yang membuat saya agak khawatir bahwa saya menginjak kotoran, mengingat perjalanan ke rumah Bu Rus harus dilakukan dengan berjalan kaki melewati perkebunan. 



Sambil menyeruput kopi khas Lombok sebagai jamuan keluarga Bu Rus dan menikmati semilir angin di teras bambu, saya dan keluarga Bu Rus berbincang-bincang mengenai adat setempat. 



Salah seorang tetangga Bu Rus yang sedang mengadakan pesta persiapan pernikahan mengajak saya untuk mampir sejenak dan makan siang bersama warga lokal. Sayangnya, siang itu saya sudah terlebih dahulu diundang makan siang bersama warga lokal lain yakni keluarga Kodi dan Mei. Keluarga warga desa di Lombok, kawan Jesse. 

Siang hingga sore, saya habiskan di Pantai Kuta untuk berenang, mendengarkan musik, membaca buku, dan tidur siang.




Keesokan siang,  saya, Paddy, dan Rick menuju Pantai Mawi yang jaraknya dapat ditempuh kurang lebih 30 menit dari Kuta. Pantai ini mereka pilih sebagai lokasi surfing dengan ombak yang besar dan tidak turistik. Tak mudah untuk menuju lokasi. Kami harus melewati jalanan berupa tanah, pasir, dan bebatuan. Namun pemandangan alam berupa perbukitan hijau, lahan-lahan hijau, para warga lokal yang tersenyum dan menyapa kami, jalanan yang begitu sepi, dan bangunan-bangunan tradisional yang saya temui di sepanjang perjalanan membuat saya kagum dan tak melepaskan kamera telepon genggam. Saya pernah melihat pemandangan seperti ini, namun pada foto-foto Pulau Bali yang diambil sekitar tahun 1980an-1990an.





Ombak Pantai Mawi yang tak tinggi saat itu membuat kedua kawan saya agak sedikit kecewa. Namun tidak dengan saya hehe. Saya bisa berenang dengan nyaman, ditambah dasar pantai yang dipenuhi pasir bukan koral. 


Rick, seorang gitaris asal Inggris yang pernah beruntung menjadi opening act untuk band Rolling Stone, tahu bahwa saya suka mendokumentasikan perjalanan. Ia pun mengantar saya untuk melihat tempat-tempat menawan dari Mawi menuju Kuta. 




Hari ketiga, saya harus kembali ke Pulau Dewata walaupun masih ingin menetap di Lombok lebih lama.  Pagi itu saya diantar oleh Bu Tina, tetangga Bu Rus menuju pasar lokal kemudian menuju Bandara Praya. 


Living Kitchen & 808 Residence, Canggu

29th of April 2018 

"Healthy food should be delicious", said  Ricky, chef at Living Kitchen.
If you are looking for an accommodation in Bali that supports healthy lifestyle and clean eating, Residence 808 should be on your list! This place provides nice accommodation with beautiful Nelayan beach as a view, and the restaurant called Living Kitchen serves you only healthy foods and beverages.

Living Kitchen is a restaurant for everyone, whether you are a vegan, vegetarian, or you wants clean eating. The highlight of this restaurant is their healthy menu and healthy eating. They serve food as medicine. Not only delicious but also healthy. What makes Living Kitchen is a bit different is the cookware they use are Saladmaster 361 Titanium which wont cause chemical reaction between the food and cookware. Besides of that, the cozy balcony where you're having meal while feel the beach breeze. Yes, it takes less than 5 minutes to Nelayan Beach, Canggu. 

summer vibe at Residence 808.
cozy balcony at Living Kitchen 
Vegan burger with spirulina bun, sweet potatoes, and sriracha sauce. 



around the pool 

I take a walk along Jalan Pantai Nelayan.


Nelayan beach. It takes approximately 3 minutes from 808 Residence and Living Kitchen.





Ubud Food Festival 2018 - Akhir Pekan Kedua di Ubud

18 April 2018 

Ini menjadi akhir pekan ketiga yang saya habiskan di Ubud pada tahun 2018. Saya kembali lagi ke Ubud untuk menghadiri acara press call Ubud Food Festival 2018 yang berlangsung hari Kamis 12 April 2018 di Plataran. 


Panas matahari tak menyengat di Ubud dibandingkan dengan wilayah Jimbaran. Banyak lokas sejuk di Ubud karena rindangnya pepohonan dan semilir angin. Di sore hari setelah wawancara Chef Ririn Marinka usai, kami  segera menuju lokasi lain di Plataran. Menikmati anggur putih dan beer, makanan-makanan fusion ala chef-chef di Plataran, sambil menikmati panorama persawahan. Jam kerja yang tak seperti bekerja, rasanya.  

Saya dan rekan kerja, Yus meninggalkan lokasi lebih awal karena dia tidak ingin melakukan perjalanan malam hari di Ubud yang begitu gelap, sedangkan saya pasti memilih menginap di Ubud daripada harus kembali ke Kuta. Saat kami berjalan kaki menuju pintu masuk Plataran, tak terduga di tikungan kami berpapasan dengan The Queen of Indonesian culinary, Ibu Sisca Soewitomo :D
 
Sewaktu duduk di bangku Sekolah Dasar yakni sekitar tahun 2000an awal, saya selalu menyaksikan Aroma, acara masak di channel TV Indosiar dengan beliau sebagai pembawa acaranya. Acara ini saya saksikan hampir setiap pagi sebelum saya berangkat ke sekolah. Maka saat  berpapasan dengan beliau kala itu, langsung terngiang di benak saya musik pengiring Aroma, gemasnya jemari-jemari beliau saat memasak dengan angle close up pada layar televisi, dan kalimat yang beliau selalu ucapkan saat masakan sudah siap disajikan "bagaimana pemirsa? mudah bukan membuatnya?". 

Kejadian tak biasa terjadi saat saya hendak meminta foto bersama beliau, namun beliau malah mengeluarkan telepon genggamnya dan meminta seorang satpam untuk memotret kami dengan menggunakan telepon genggam miliknya, bukan dengan telepon genggam milik saya. Dengan alasan "aku juga mau simpan foto aku bareng kamu". That time i realised that she's a truly humble legend!

Barang jualan dibiarkan di lokasi berdagang, sedangkan penjualnya tak ada :) #Balilife

Malam hari, saya dan kawan-kawan berjalan-jalan di Ubud. Berjalan kaki melewati pura-pura, area persawahan, jembatan tua, perkebunan warga, dan menemukan lokasi seperti dalam hutan yang rindang dengan pohon beringin yang batang-batang ringannya terurai. Sejujurnya, agak ngeri berada di area ini tengah malam. Tapi menawan sekali lokasi ini sehingga kami berhenti sejenak untuk mengaguminya. Dulu, usaya bisa berada di lokasi semacam ini ketika sedang melakukan pendakian atau saat camping, namun di Bali saya bisa menemukan lokasi menawan semacam ini dengan mudah sekali. Selain itu, suasana malam hari di Ubud sangat berbeda dengan suasana malam di Jimbaran apalagi Kuta. Ubud seperti desa. Pukul 11 malam, cafe, restoran, dan pertokoan sudah tutup. Jalanan sepi dan gelap. 







Ubud Food Festival 2018
Acara festival makanan Nusantara dan mancanegara yang diselenggarakan tahuna kali ini kembali diadakan di Taman Kuliner, Ubud selama tiga hari. Yakni dari tanggal 13 April hingga 15 April 2018. Acara terdiri dari workshop masak, live cooking demo oleh chef-chef terkenal, perlombaan memasak antar chef, pemutaran film, live music, tari-tarian, dan bazaar.     


Salah satu acara yang saya nantikan di UFF kali ini yakni demo masak dari The Jungle Chef dari Papua , Chef Charles Toto. Sejak tahun 1997 ia menjadi chef bagi para petualang hutan Papua. 

Uniknya, ia memasak masakan bagi para petualang dengan menggunakan bahan-bahan yang ia dapatkan di dalam hutan Papua. Keprihatinannya terhadap makanan khas dan produk lokal Papua yang semakin dilupakan oleh masyarakat Papua karena mereka lebih memilih makanan instan, membuat Chef Charles Toto mendirikan komunitas The Jungle Chef. Ia mengajarkan pemuda-pemudi Papua untuk memasak makahan khas Papua di hutan bagi para travellers dengan menggunakan bahan-bahan yang mereka temukan di dalam hutan Papua. Baginya, hutan Papua adalah pasar bagi masyarakat Papua.                                                                                                                                                                                  

Makanan-makanan tradisional Papua yang biasa disajikan oleh The Jungle Chef bagi petualang hutan di hutan Papua. Ada Papeda (sagu, makanan pokok masyarakat Papua), ikan bakar, ayam, sambal, dan saus buah merah.

My lovely Jimbaran. Kangen tiap gak tau mau mau ngapain, langsung ke pantai terdekat untuk renang, tidur siang, atau baca buku sambil kena semilir angin.