Nyepi Day in Bali

14th of April 2018
     via Instagram

That excited moment when i looked up the sky and saw a thousands stars and a milky way after over 2 years 😂 the photo was captured on Nyepi Day in Bali (Day of Silence) when the island shut down the internet service, flights, public places, ATM, no light, no activities, everyone had to be quiet, and stay inside. . For me it was a special night to see this exchanted night sky easily (i didnt have to hike a mountain or to be in an isolated village) and it was my very first time to experience Nyepi Day.


Sebelum hari raya Nyepi
Tak seperti malam-malam biasanya yang begitu sepi. Riuh alunan musik khas Bali begitu jelas terdengar dari kamar kosan saya yang terletak di daerah yang terbilang pedesaan di Kuta. Lima malam menuju Hari Raya Nyepi, alunan musik Bali dimainkan hingga larut malam.


Rasa penasaran mengantar saya mencari tahu darimana sumber alunan tersebut, yang ternyata berasal dari sebuah Banjar yang terletak dekat bangunan kosan tempat saya bernaung. Banjar merupakan pusat berkumpulnya masyarakat Bali untuk mengadakan acara adat. Di banjar juga para pemuda Bali berlatih memainkan musik gamelan untuk Hari Pangerupukan yang jatuh satu hari sebelum Hari Raya Nyepi. 

 

Hari-hari menuju Hari Raya Nyepi, ogoh-ogoh atau patung-patung raksasa berbentuk menyeramkan yang menjadi simbol roh jahat menghiasi banjar-banjar dan jalan-jalan di Bali. Ogoh-ogoh akan diarak diiringi musik gamelan khas Bali serta dilombakan pada malamq Pangerupukan.

Hari Pangerupukan tahun ini jatuh pada hari Jumat tanggal 3 Maret. Jam kerja yang biasanya usai pukul 17.30, menjadi usai pukul 12.00 siang. Pulang lebih cepat pasti menyenangkan hati para karyawan, bukan? Hehe. Begitu juga saya dan semua karyawan yang bergegas pulang.


Mega, kawan perantau asal Bandung telah menunggu saya di minimarket bersama supir Gojek yang jasanya telah ia pesan sehari sebelum berangkat. Mojang Bandung ini akhirnya turut serta rencana saya menikmati Ubud saat Nyepi dan akhir pekan. Dia yang dadakan ikut, tapi saya yang panik. Panik karena rencana yang telah saya persiapkan yakni menaiki transportasi daring dari Kuta menuju Ubud mengalami kendala. Selama sejam, tidak ada supir yang mengambil pesanan saya di aplikasi. Selain itu, semua ATM tidak berfungsi (sengaja aliran listrik dimatikan menjelang Hari Nyepi) sedangkan saya belum menarik uang dari ATM.




Sejam penantian menuggu driver transportasi online membuahkan hasil. Seorang supir asal Banyuwangi siap menjemput saya dan mengantar saya ke Ubud. Lega rasanya. Jalan-jalan diramaikan oleh manusia, ogoh-ogoh, banten (sesajen), dan upacara adat. Orang-orang bergegas kembali ke desanya untuk merayakan Nyepi.

Tibalah saya dan Mega di White Villa Hostel, Ubud. Hostel yang dikelilingi sawah hijau dengan pemandangan Gunung Agung di balik kebun. Suasana pedesaan begitu terasa di sini. Bersantai di sore hari dengan duduk di pinggir sawah dan menghadap Gunung Agung, sambil membaca sebuah buku kiriman dari seorang sobat berjudul Soe Hok Gie dan Surat-Surat Yang Tersembunyi.

Langit semakin gelap. Cahaya merah muda bercampur kuning dan jingga mulai nampak di langit. Sebagai tanda saya dan Mega harus bersiap-siap (makan malam dan mandi) untuk menyaksikan pawai Ogoh-ogoh yang akan dilaksanakan sekitar sejam kemudian di banjar.

Berjalan kaki sekitar 15 menit menuju banjar terdekat. Jalanan begitu gelap dan sepi. Samar, suara alunan mudik khas Bali terdengar jelas. Banjar dipenuhi warga lokal dan turis. Musik khas Bali dan tari-tarian ditampilkan di banjar. 


Acara dilanjutkan dengan lomba perarakan Ogoh-ogoh. Ada tiga Ogoh-ogoh yang dibuat warga desa untuk pawai Nyepi tahun ini. Secara bergantian, para peserta dalam kelompok bekerja sama dan kompak menggoyang-goyangkan Ogoh-ogoh. Terlihat cukup bahaya perlombaan ini. Beberapa peserta lomba terjatuh dan terinjak peserta lain. Untunhlah ada panitia dan pecalang yang sigap menolong dan menghentikan pertunjukkan sejenak tiap ada peserta lomba yang terjatuh.


Hari Raya Nyepi di Ubud
Sejak pukul 06.00 WITA, Nyepi sudah berlangsung. Ubud yang terbilang lokasi yang sepi menjadi semakin sepi. Hanya ada suara burung-burung, hewan, dan angin.Tak ada akses internet, lampu, dan kami tidak boleh keluar dari gerbang. Umumnya, warga Bali melakukan meditasi, berdiam diri, dan berpuasa selama Hari Nyepi. Banyak pelancong mancanegara di hostel tersebut yang kaget akan peraturan Hari Raya Nyepi.  Maka kami para penghuni melewati hari itu dengan membaca buku, bercerita pengalaman,  berbagi pengetahuan akan budaya negara masing-masing, mempelajari permainan kartu dari beberapa negara, dan saling mengepang rambut. 


Dari kiri ke kanan: Giulia, Nita, Mega, Alice, saya, dan Lucy.
Dari teras hostel yang memiliki pandangan luas ke area persawahan, kami melihat dua wisatawan malah berfoto di tengah sawah dan berteriak-teriak satu sama lain. Sontak hal tersebut membuat kami bingung dan saya cukup geram. Mengapa banyak wisatawan bodoh? Yang hanya mementingkan foto atau dokumentasi namun tidak menghormati budaya lokasi mereka berkunjung. 



Malam hari saat Nyepi. Ini dia yang saya tunggu-tunggu saat Hari Raya Nyepi, yakni malam bertabur bintang dan gugusan bintang (milky way). Semakin malam hingga subuh, semakin jelas terlihat. Senyum sumringah di wajah berkat kembali menyaksikan gugusan bintang setelah dua tahun lebih. Saat saya mendaki gunung, camping di hutan, atau singgah di desa terpencil pun belum tentu bisa menyaksikan gugusan bintang apabila langit mendung.


Salah satu pelancong di hostel tersebut yakni Kak Nita, seorang fotografer media ternama Tempo juga punya rencana yang sama dengan saya. Yakni mengabadikan gugusan bintang saat malam Nyepi. Selalu muncul hasrat untuk tidur di tengah sawah atau tengah jalan sambil memandang langit bertabur bintang, seperti yang saya lakukan tiap camping. Namun sayangnya kami tak boleh keluar dari gerbang hostel. 

Pukul 3 pagi saya dan Kak Nita bangun demi mengabadikan lagi gugusan bintang lewat kamera DSLR yang kami bawa. Gugusan bintang yang pada sekitar pukul 12 malam berada di atas atap hostel, kini berpindah ke sebelah barat sehingga kami mudah sekali menyaksikannya dari teras tanpa perlu melihat ke atas langit.


Suara ayam mulai berkokok. Sinar mentari mulai meninggi. Langit menjadi semakin cerah kebiruan. Gugusan bintang pun mulai tak terlihat mata. Burung-burung berkicau bersaut-sautan. Udara begitu sekali pagi itu. Seperti udara yang saya hirup saat berada di desa terpencil atau saat pendakian gunung. Hari itu saya berpikir, begitu mudahnya mendapatkan alam yang bersih nan menawan di Bali. Jauh berbeda ketika saya hidup di Jakarta dahulu. Untuk menghirup udara segar dan sejuk, harus menempuh perjalan jauh ke Puncak atau Bogor. Ditambah macet, dan ramai orang yang juga memiliki tujuan ke tempat tersebut. Kadang ingin camping, tapi butuh perjalanan matang. Tak mudah mendapatkan hiburan alam ketika hidup di Jakarta.


Sekitar pukul 7 pagi, warga membuat bunyi-bunyian, berdoa ke pura, membersihkan halaman dan bercengkrama di luar rumah.  Tanda bahwa Hari Raya Nyepi usai, sehingfa kami para pelancong bisa beraktifitas dan berjalan-jalan. 


Saya, Mega, Kak Nita, Giulia, dan Iyk menuju Tirta Empu. Sebuah permandian air suci di Ubud. Perjalanan diiringi langit biru yang cerah, udara sejuk, kami melewati hamparan hijaunya persawahan, kebun-kebun kelapa, dan pura-pura.  Tempat permandian suci Tirta Empul dipenuhi warga Bali. Berbondong-bondong mereka datang ke sini untuk melakukan penyucian diri di kolam permandian dan sembayang. Saya, Mega, dan Iyk mengantri hinga lebih dari satu jam lamanya untuk masuk ke area kolam dan mengantri di dalam kolam untuk mengikuti tradisi penyucian diri bersama warga Bali. Kolam permandian yang terdiri dari dua kolam dipenuhi warga yang mengantru rapi. Penuh dan sesak tapi dingin sekali.