Free Fancy Camping at Bang Badil's

6-7 Januari 2017

Mengawali tahun baru 2017 ini, saya mengisinya dengan kegiatan berfaedah nan mengasyikan, camping. Lebih tepatnya Free Fancy Camping. Berlokasi di Kumbara camping ground, di kawasan Taman Safari Bogor. Ini pertama kalinya saya dapat tidur dengan sangat nyaman saat camping bersama anggota Mapala. Saat camping di sini, saya dapat tidur dengan leluasa, saya tidak terhimpit kawan setenda (karena satu tenda diisi hanya tiga orang), dan tidak terbangun karena menggigil. Ditambah, makanan yang sangat nikmat dan kami diperbolehkan mengambil porsi sepuasnya. Yang lebih menyenangkan lagi, kegiatan camping ini GRATIS heheheh. Biasanya saat saya camping dengan anggota Mapala; kami tidak dapat leluasa tidur karena satu tenda diisi oleh 4-6 orang dan porsi makan terbatas agar semua anggota kelompok dapat makan juga. 


Kegiatan camping bersama ini merupaan kegiatan yang direncakan oleh para senior Majalah Jejak, majalah yang diproduksi oleh Mapala UI sejak tahun 2006. Selama camping ini, kami membahas mengenai majalah Jejak yang sudah diterbitkan dan yang akan diterbitkan, serta workshop mengenai jurnalistik dan fotografi. 

Kegagahan yang Digerus Usia


Mendengarkan dongeng kisah hidupnya Bang Badil. 
Setelah mengikuti workshop, kami mengisi waktu luang dengan berbincang-bincang bersama Rudi Badil, seorang wartawan senior Kompas yang juga senior kami di Mapala UI. Lansia berambut putih, renta, dan selalu membawa tongkat kayu yang membantunya berjalan ini memiliki gaya bicaranya yang terus terang, lugas, dan berani. Kehadirannya sebagai narasumber di berbagai talkshow mengenai aktivis '66 bernama Soe Hok Gie mampu menunjukkan betapa berjayanya beliau di masa muda. Malam itu, pria yang akrab disapa Bang Badil ini bercerita mengenai segudang pengalamannya dari zaman ia berkuliah selama 11 tahun di jurusan Antropologi Fakultas Sastra UI, pengalamannya bergiat di Mapala UI, pengalaman melawaknya bersama Warkop Prambors (yang kini kita kenal sebagai Warkop DKI), mengikuti UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) dansa,  menjadi asisten sutradara,  melanglang buana ke berbagai pelosok Nusantara, ke berbagai belahan dunia, menjadi wakil kampus dalam pertukaran pelajar, menjadi wartawan Kompas selama 30 tahun, anggota komunitas pencinta hewan, menulis buku-buku, hingga belajar masak di Italia, cerita mengenai pertikaian-pertikaiannya, hingga untold storiesnya. Multitalenta dan sangat bergairah menjalani masa muda , begitu saya mengingatnya. 


Rasa terpuruk pernah ia rasakan semasa hidupnya sejak sebuah mobil menabrak dirinya saat sendang joggingAkibat peristiwa itu, ia tidak dapat berjalan dengan baik dan membutuhan tongkat untuk membantunya berjalan. Sejak peristiwa kecelakaan yang merenggut kakinya dan mengakibatkan dirinya tidak bisa bergiat banyak di alam,  beliau  sering datang ke lokasi yang kini menjadi lokasi kami camping, Taman Safari. Di dekat sungai yang mengalir deras, dekat hutan yang dihuni monyet, beliau menangis, mengadu pada alam. Namun keterpurukannya tidak berlangsung lama, ia segera bangkit, menjalani aktivitas-aktivitas lain antara lain menulis artikel, menulis buku-buku, masuk dalam  berbagai komunitas hewan, mendirikan Taman Safari, membangun camping ground, membangun tempat pengangkaran macan tutul Jawa, penangkaran rusa dan kandang panda. Begitulah cara lain beliau untuk mencintai alam. Tak heran, lansia berdarah Manado yang telah menginjak usia 71 tahun ini, tetap terlihat begitu bugar saat dipersilahkan berbicara, meskipun jasmaninya telah renta.

Menikmati Taman Safari di Tempat yang Belum Dibuka Untuk Umum


Keesokan harinya, kami mengunjungi beberapa kandang hewan yang berlokasi dekat dengan dengan lahan kami camping. Pertama, kami menuju ke kandang panda yang terletak di atas bukit. Setelah 30 menit berjalan kaki, kami tiba di bangunan berasitektur Cina nan megah. Bangunan berlantai tiga ini dilengkapi dengan elevator, eskalator, restoran, ruang yang dapat disewa untuk rapat, serta yang utama adalah beberapa kandang panda yang luas. Sayangnya kandang panda ini belum terisi oleh hewan panda, hanya replikanya saja. Bang Badil berkata bahwa kedatangan panda-panda yang dibelinya dari Negri Cina ke Taman Safari diundur lantaran kedua panda tersebut sedang dijodohkan. Meskipun demikian, kami tetap menikmati pemandangan menawan di sekitar kandang panda serta di dalam bangunan kandang panda. 




Puas mengabadikan keindahan alam dan arsitektur bangunan itu, kami melanjutkannya ke tempat pengangkaran rusa dan macan tutul. Entah apa yang rusa-rusa ini pikirkan, ketika mereka melihat kami berjalan bergerombol mendekati kandang, mereka mematung. Setelah menertawakan aksi mereka, kami memasuki bangunan seperti rumah dengan sekat-sekat besi. Bangunan ini merupakan tempat pengangkaran macan tutul. Sebelum masuk, kami harus menginjakan kedua kaki ke air alkohol agar steril. Menelusuri lorong yang dihuni oleh macan-macan tutul dan macan kumbang di kanan dan kiri yang terus mengaum, membuat saya merasa sedang dilatih menjadi gladiator. Selama menelusuri lorong itu, kami mendapat penjelasan dari pemandu kami yang sekaligus pawang hewan-hewan cantik nan mengerikan itu, bahwa hewan yang hanya ditemukan di Pulau Jawa ini sudah menjadi langka. Mereka dapat mengetahui keberadaan manusia dari jarak 100 meter, dan mereka biasanya menghindari bertemu manusia. 




Kegiatan berfaedah di awal tahun 2017 ini disponsori oleh:
- Senior-senior Jejak
- Bang Badil
- Akang-akang yang masak masakan super lezat
- Pawang macan tutul 


Daisy Field Forever at Prau Mountain & Trip to Dieng

20 September 2016


Menyaksikan lautan awan, matahari terbit, dan matahari terbenam, merupakan kegiatan yang biasa saya lakukan di gunung maupun di dataran tinggi. Begitu juga di Gunung Prau. Namun ada kegiatan lain yang menjadi daya tarik tersendiri bagi saya di gunung ini, yakni makan siang dan tidur siang di antara cantiknya padang bunga daisy yang bisa saya lakukan di dekat puncak Gunung Prau. 



Selain pesona hamparan luas padang bunga daisy, Prau juga menyuguhkan matahari terbit yang sungguh luar biasa indah. That was my most favorite sunrise in my entire life. Pertama, saya bisa menyaksikan beberapa puncak gunung, diantaranya puncak Sindoro, puncak Sumbing, puncak Merbabu, puncak Mahameru, dan puncak Slamet. Kedua salah satu puncak gunung itu menutupi matahari yang hendak timbul sehingga menghasilkan bayangan seperti  lampu sorot. Ditambah, hamparan luas padang daisy yang terus-menerus memikat hati saya.


Dalam bucketlist saya, gunung  yang terletak di Wonosobo ini menjadi gunung pertama yang ingin saya daki karena termasuk gunung wisata. Julukan “gunung wisata”  bagi Gunung Prau disebabkan karena medan jalurnya yang  terbilang tidak berat dan waktu tempuh dari basecamp ke puncak hanya  memakan waktu 2-4 jam pendakian. Namun takdir berkata lain, Gunung Prau menjadi gunung keenam yang saya daki. 

Berangkat dari Terminal Depok bersama kawan saya bernama Alejandro yang datang dari Bali, kami menaiki bus malam menuju Wonosobo. Setelah 12 jam perjalanan darat, kami tiba di Terminal Wonosobo dan bergabung dengan rombongan Victor.  

Setelah turun gunung, kami berwisata di Wonosobo. Diantaranya Bukit Sikunir, Kawah Sikidang, dan kawasan Candi Arjuna. Diawal kedatangan saya di tiga tempat ini, saya dikejutkan oleh lautan wisatawan. Berbeda dengan kunjungan pertama saya ke tempat-tempat ini di tahun 2015 yang sepi wisatawan. Bicara mengenai “golden sunrise” di Dataran Tinggi Dieng, jika dilihat dari Bukit Sikunir pemandangan golden sunrise  tidaklah secantik  pemandangan golden sunrise yang disuguhkan dari Gunung Prau.



Wisata alam yang menyuguhkan pemandangan yang sangat menawan, waktu tempuh yang memakan waktu 2-4 jam pendakian, jalur medan yang santai, wisata budaya dan historis, serta harga makanan yang tergolong murah, menjadikan Dataran Tinggi Dieng sebagai salah satu wisata favorit saya.


Menikmati tempe goreng di kawasan Batu Ratapan.
Di kawasan Kawah Sikidang.







Had lunch at daisy field with mi amigo, Alejandro.

Malam Satu Suro di Dieng.



Makanan khas Dieng: mie ongklok.