Liburan Semester 7: Arung Jeram - Jogja - Dataran Tinggi Dieng - Gunung Argopuro

1 September 2015

Liburan yang dimulai dari pertengahan Juni hingga akhir Agustus tahun ini menjadi liburan terproduktif saya. Di mulai dari memahami teori olahraga Arung Jeram hingga praktek, lalu menuntaskan tugas sebagai Kepala Divisi Media dengan menerbitkan buletin tahunan berjudul Bonjour!, kemudian melakukan perjalanan seorang diri ke Jogjakarta untuk "merayakan" pergantian umur, lalu mengikuti tahap 3 dalam perekrutan organisasi Mapala UI dengan melakukan pendakian ke Gunung Argopura sebagai tim dokumentasi untuk pameran fotografi dan penelitian. 

Arung Jeram
Awal Juni, saya dan teman-teman Caang (Calon Anggota) di suatu organisasi kampus berlatih arung jeram dan SAR (Save And Rescue) di salah satu danau Universitas Indonesia, tepatnya di bawah jembatan Teksas (Teknik-Sastra). Kami berenang bersama siput, bangkai ikan, sampah, dan butiran-butiran tak bernama. 








 
Bersih-bersih alat dan badan setelah berlatih mendayung dan berenang.





















Tiga kali berlatih arung jeram di danau yang pernah ditemukan mayat ini, kami pun kemudian mengarung di Sungai Cisadane. Kehadiran sampah dan limbah sangat merusak keindahan perpaduan antara arsitektur jembatan dan alam sekitar. Sayangnya saya tak sempat mengabadikan peristiwa ini dengan kamera.


hip hip horay




Meskipun tomcat menyerang
meskipun ada hajat manusia mengambang
meskipun ada orang gila telanjang
meskipun kulit menjadi belang
Sungai Cisadane kami terjang.





Buletin Bonjour! edisi Juli 2015
Ini adalah projek saya dan teman-teman IKABSIS UI (Ikatan Keluarga Besar Mahasiswa Prancis Universitas Indonesia).  Buletin ini tidak hanya tersedia dalam bentuk cetak, namun juga dalam versi online di sini.  Terima kasih banyak kepada mahasiswa/i  Sastra Prancis UI, terutama sohibku, Reno Ade Saputra yang menemani saya berkeliling Jakarta mencari percetakan murah dan mengurus dana pembuatan buletin, Zara Amelia, Lia Agatha, Lulu Fakhriyah, Daniyah Alkatiri, Putri Firdaus atas ide kreatifnya. Je vous aime! 




Bastille Day
Pada tanggal 14 Juli, saya dan orang tua menghadiri pesta rakyat Prancis di Indonesia untuk merayakan hari nasional negara mereka. Tiap tahun menghadiri acara ini, saya selalu melakukan ritual: makan dan minum sampai begah. Sulit rasanya untuk melangkahkan kaki meninggalkan tempat ini karena berkat acara ini saya bisa memperbaiki gizi tubuh. 






Jogjakarta-Dieng
Bertepatan dengan hari ulang tahun saya yang ke... (ah sudahlah, jangan disebut), saya mengunjungi kota Jogja tercinta untuk melakukan perjalanan seorang diri ke berbagai tempat indah di Jogja. Sejak ulang tahun saya tahun lalu, saya mulai sering melakukan perjalanan seorang diri namun hanya ke JABODETABEK terutama Bogor (hehehe masih cupu yaa). Hujan Bogor, kenangan yang tercipta, keasrian Kebun Raya Bogor, dan banyaknya arsitektur bangunan-bangunan Belanda, selalu menggoda saya untuk terus kembali mengunjungi kota ini ketika saya merasa penat akan tugas kuliah.
                       

                       


                       
              


Sendra tari Ramayana di depan Candi Prambanan






                          

                           


                           


                           

                           




Goa Pindul

Terima kasih kepada:
- The Lord of this universe
- ibu dan bapak 
- Haris, Danuta, dan kawan-kawannya yang sempat menemai perjalanan saya ke Dieng 
- Dinda dan keluarganya yang telah mengajak saya nebeng liburan sehari bersama keluarganya di Jogja
- seorang warga lereng Gunung Merapi yang mengira saya remaja hilang di pasar  dan mau mengantarkan saya  ke Museum Ulen Sentalu
- Awan dkk yang memberikan tumpangan kepada saya menuju hutan Kalibiru hingga pusat Jogja
- Makwok Disa dan keluarga Bimo yang memberikan tumpangan kosannya untuk saya melepas lelah semalam
- Mbak Elis dan Mas Kris atas tumpangan rumahnya
- Chiara Bernini dkk yang menemani perjalanan saya menuju Borobudur hingga pusat Jogja dan menjadikan saya tour guide dadakan


Setelah arung jeram, lalu melakukan perjalanan ke Jogjakarta dan Dataran Tinggi Dieng, saya melanjutkan perjalanan ke Gunung Argopuro di Jawa Timur. Berikut kisahnya Serunya Berwisata Alam dan Sejarah di Savana Cikasur, Argopuro klik di sini.

Serunya Berwisata Alam dan Sejarah di Savana Cikasur, Gunung Argopuro

2 September 2015

Salah satu pengunjung setia Sungai Kolbu, burung merak.
Suara burung merak terdengar nyaring seantero Sabana Cikasur. Sering kali mereka menampakkan dirinya di tepi Sungai Kolbu. Sungai kecil yang dikelilingi oleh tanaman selada air dan menjadi sumber air utama bagi satwa di sabana ini seakan menjadi panggung bagi berbagai aves memamerkan dirinya. Dua kali saya dikejutkan oleh kehadiran merak jantan yang berlenggak-lenggok cantik di atas reruntuhan bangunan peninggalan kolonial Belanda. Dua meter jaraknya dari tempat saya berdiri. Ketakjuban akan hewan pujaan Cikasur yang terbang anggun tepat di depan mata membuat saya bengong dan lupa mengabadikannya pada kamera yang sedang saya genggam. Seakan tak mau kalah dari merak, burung elang juga turut memamerkan dirinya dengan terbang memutar di langit Cikasur sambil bersenandung. Lutung-lutung juga beraksi dengan bersahut-sahutan sambil melompat dari satu pohon ke pohon lain. Sedangkan di sisi timur Cikasur, di lahan bekas landasan pesawat zaman kolonial Belanda kami menyaksikan sekawanan babi hutan berlari masuk ke dalam rimbunnya hutan.

Wisata unik ini saya dan kawan-kawan nikmati pada bulan Agustus 2015 di Cikasur, salah satu sabana yang ada di kawasan Dataran Tinggi Hyang, Jawa Timur. Tidak hanya pesona alamnya berupa sabana di ketinggian 2.315 mdpl dan cagar alam Sungai Kolbu, Cikasur juga kaya akan flora, fauna serta situs bersejarah. Untuk mencapai sabana indah ini, kami memulainya dengan perjalanan darat pada tanggal 18 Agustus 2015 dari Jakarta menuju basecamp Argopuro di Desa Baderan, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur selama 17 jam menaiki kereta api dan bus. 

Penantian kami selama satu jam pada truk yang lewat di Alun-alun Besuki untuk memberikan kami tumpangan pada pukul 22.00 WIB tidak membuahkan hasil. Untunglah ada ojek sekitar yang siap menjadi alternatif pengantar kami menuju Desa Baderan dengan biaya Rp 35.000,00 / motor. Pegal bukan main saya rasakan selama satu jam menaiki ojek yang adalah sebuah motor namun kami tumpangi bertiga, yakni pengemudi, saya, dan Andini. Ditambah jalan rusak, berbatu dan jalur menanjak bukit. Pegal dan terus tergunjang. Namun, selama perjalanan berkendara yang melelahkan ini, saya terbuai oleh pemandangan langit malam berupa gugusan bintang, sebuah karya Tuhan yang biasanya saya lihat dari layar laptop.

Pemandangan yang membuat saya menangis bahagia saking menawannya: gugusan bintang atau milky way. 

Setelah menempuh 17 jam berkendara dari Jakarta, tibalah kami di basecamp Baderan berupa kantor KSDA Baderan. Di sana kami disambut oleh tiga mahasiswa MAHAPENA (Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Ekonomi Universitas Jember) yakni Alfath, Aziz, dan Abid yang akan menemani perjalanan kami menuju Sabana Cikasur. Keesokan pagi pukul 07.00 WIB, kami berdelapan bergegas memulai pendakian.

Salah satu warga lokal yang kami jumpai saat pendakian.
Untuk mencapai Sabana Cikasur dari basecamp Baderan, kami terlebih dahulu harus menyusuri pemukian warga, perkebunan warga, dan hutan produksi warga dengan jalan bebatuan yang oleh warga setempat disebut "makadam". “Kapan kita masuk wilayah hutan ya? berjam-jam jalan kok masih perkebunan warga?”, gerutu dan keheranan saya akan wilayah perkebunan dan hutan produksi warga hingga di ketinggian 1.200 mdpl. Itu berarti semakin tergerusnya hutan lindung di wilayah ini. Namun lagi-lagi sapaan dan senyuman hangat dari warga lokal yang kami jumpai membuat saya kembali tersenyum lebar meskipun pegal sudah terasa di punggung yang menahan berat carrier. Ada warga yang sedang bercengkerama dengan tetangga dan anak-anak mereka di depan rumah-rumah yang terbuat dari kayu, ada yang sedang berladang, memandikan kuda, ada pula yang memikul rumput untuk pakan ternak.




Setelah melewati "makadam", kami memasuki kawasan hutan lindung dengan jalur pendakian berupa tanah berdebu. Kami berjalan sambil menjaga jarak 2 meter satu sama lain. Jalanan macam inilah yang membuat mata kami pedih dan ingus kami bukan lagi berwarna bening melainkan hitam, meskipun buff dan masker sebagai pelindung hidung dan mulut sudah kami kenakan. Jalan berupa tanah berdebu diakibatkan oleh sepeda motor yang berlalu lalang menuju Cikasur. Memang ada dua alternatif untuk menuju Cikasur. Pertama, adalah jalan kaki. Kedua, naik ojeg dengan biaya Rp 250.000,00 per sepeda motor. Namun apabila polisi hutan mendapati ada motor tiba di Cikasur, maka pengemudinya akan ditangkap karena suara bising yang ditimbulkan sepeda motor dapat mengusik satwa-satwa sekitar.

Pemandangan yang disuguhkan oleh lokasi kami berkemah di jalur antara Mata Air I menuju Mata Air II. 
Satu persatu bukit, tanjakan, turunan dan sabana kami lewati. Matahari yang terus menampakkan dirinya membuat keringat kami bercucuran dan letih semakin terasa. Namun kami terus berharap segera tiba di Cikasur di hari kedua pendakian. Sudah 17 jam kami mendaki. “Itu Sungai Kolbu! Itu Sungai Kolbu!” teriak Ari yang berjalan paling depan. Sungai yang menjadi penanda bahwa kami tiba di Cikasur. Mendengar itu saya dan kawan-kawan segera berlari menuju sungai. Seperti menemukan harta karun, dengan gaya berlari riang, kami segera menghampiri sungai itu untuk membasuh diri dan minum sepuasnya. Lelah dan pegal serasa hilang seketika. 

Melewati Sungai Kolbu. 

Sebuah pohon besar nan rindang berdiri kokoh di tengah sabana yang gersang. Cocok sebagai lokasi kami mendirikan tenda. Setelah mendirikan tenda dan beristirahat sejenak, kami mampir ke tenda-tenda yang didirikan di atas reruntuhan bangunan peninggalan kolonial Belanda untuk bertegur sapa. Itulah tenda-tenda hunian seorang polisi hutan honerer bernama Pak Samaji, tenda seorang polisi hutan bernama Pak Deni, dan tenda Mas Iwan peneliti Lutung.‘’Nanti malam akan dingin sekali. Apalagi ini sedang musim kemarau. Kalian mampir saja ke sini karena kami membuat api unggun’’, ajak Pak Samaji dengan logat khas Jawa Timur. Selama kami berbincang-bincang, kami juga mendapat nyanyian sambutan dari burung elang yang terbang memutar di langit, nyanyian dari burung merak dan kemunculannya di bukit seberang. Saya terhibur oleh nuansa yang tercipta berupa keramahan pendaki lain dan sambutan dari satwa Cikasur. Letih yang saya rasa pun samar-samar hilang. 


Kami tidak melewatkan kesempatan untuk banyak bertanya kepada mereka mengenai sejarah, cerita mistis, flora dan fauna di Cikasur serta Argopuro.  ‘’Perburuan liar sering terjadi di Cikasur. Hewan-hewan yang diburu biasanya burung-burung. Nantinya burung-burung hasil buruan itu akan diperjualbelikan di pasar,” jelas Mas Iwan, peniliti Lutung. Kedua polisi hutan yakni Pak Deni dan Pak Samaji menuturkan bahwa tidak hanya fauna yang sering diambil warga secara ilegal, tetapi juga flora. Tanaman bernama lerean berupa umbi, letan-letan yang diambil kulitnya, polasari yang diambil akarnya, susuh angin yang tumbuh di ujung batang pohon, dan kayu manis yang biasa digunakan untuk sayur, sering diburu warga. Tanaman-tanaman berkhasiat ini biasanya diambil di kawasan hutan lindung dan dijual di pasar sebagai bahan ramuan atau jamu. 

Kesulitan mengambil tanaman bernama susuh angin sering menimbulkan penebangan liar karena banyak warga yang mengambilnya dengan cara memotong batang pohon, bukan memanjat pohon hingga ke ujung batangnya. Meskipun memotong batang pohon merupakan cara yang praktis untuk mengambil susuh angin, namun hal ini sebetulnya menimbulkan kerugian bagi warga, karena jika semakin banyak batang pohon yang dipotong maka warga semakin sulit menemukan susuh angin karena pertumbuhannya lama.
Jangan hanya melihat ketinggiannya, mari lihat medan tempuhnya. 
Pohon-pohon yang mebentuk pola.

Bulan mulai menampakkan dirinya pukul 13.00 WIB. Sore hari, kabut yang menyelimuti sabana ini membuat saya segera mengenakan dua lapis jaket dan dua lapis kaos kaki. Malam hari, hawa semakin menusuk tulang. Apa yang kami kenakan belum cukup melindungi tubuh ini dari hawa dingin Cikasur. Kami sangat bersyukur, Pak Samaji menawarkan api unggun yang dibuat oleh para porter di dekat tenda mereka. Oleh karena itu setiap malam kami berkunjung ke reruntuhan bangunan Belanda untuk menikmati kehangatan api unggun. Kecepatan para porter dalam membuat api unggun membuat saya menjuluki mereka sebagai "dewa api". Tidak hanya api unggun, kami juga disuguhi minuman hangat dan makanan ringan. Sarapan, makan siang, makan malam, di sini saja bersama kami. Kami punya banyak makananJadi kalian gak usah masak”, ajakan Pak Samaji yang membuat kami bergembira ria.

Terima kasih kepada para "dewa api" atas api unggun, cemilan, dan jamuan minuman hangat.
Api unggun buatan "dewa api" (baca: para porter dari polisi hutan).
Mengahangtkan diri di atas reruntuhan bangunan Belanda dan di sekeliling api unggun. 



Memasak. 
Semburat matahari yang perlahan muncul dari balik bukit bak penyemangat kami memulai aktifitas. Memasak lalu berburu foto flora dan fauna Cikasur yang akan kami ajukan dalam pameran fotografi "Meraih Asa di Tanah Para Dewa" dan video dokumenter "Hyang Menuju Taman Nasional". Beberapa jenis aves, lutung, dan flora Cikasur telah berhasil kami abadikan dalam kamera. Maka pada hari ketiga kami mengerahkan waktu untuk berburu foto di timur Cikasur. Lokasi ini dikabarkan oleh Pak Deni menjadi lokasi kemunculan penghuni Cikasur lainnya yakni babi hutan, macan kumbang, dan rusa.

Merebahkan diri di atas kuburan masal buruh Indonesia zaman penjajahan Belanda (catatan: saya baru mengetahui info ini setelah turun dari Cikasur).

Kami duduk di antara semak-semak di atas lahan bekas landasan pesawat zaman kolonial Belanda sambil menunggu kehadiran satwa. Dari kejauhan terlihat sekawanan babi hutan berlari dari sabana menuju lebatnya hutan seakan takut diburu. Babi-babi berukuran besar menggiring babi-babi yang berukuran lebih kecil. Sungguh menggemaskan.


Beberapa saat kemudian suasana menjadi sunyi kembali, angin terus berhembus sepoi-sepoi, dan kabut mulai turut. Terbayang dalam benak saya Cikasur zaman penjajahan dahulu menurut buku The Ecology of Java and Bali tahun 1996. Kecantikannya pasti melebihi saat ini: bangunan bergaya arsitektur Eropa sebagai tempat penangkaran rusa berdiri di dekat Sungai Kolbu, perkebunan kentang dan landasasan pesawat membentang di timur Cikasur, berbagai jenis bunga bermekaran, dan masih banyaknya satwa yang berkeliaran. Namun membayangkan beralih fungsinya bangunan penangkaran rusa menjadi markas tentara, peristiwa pertikaian orang-orang Belanda dengan orang-orang Jepang hingga peristiwa pembunuhan masal buruh-buruh Indonesia yang dilakukan oleh kaum penjajah di tempat ini, membuat saya ngeri. Ya, Sabana Cikasur menjadi saksi bisu sejarah kelam bangsa Indonesia. 




         Salah satu bulu burung. Dilihat dari ukurannya yang besar, bulu ini adalah bulu burung  elang.

Kurangnya Pemeliharaan di Kawasan CikasurDari cerita dan foto-foto yang saya sajikan memang memperlihatkan keindahan dataran tinggi yang dikabarkan Pak Samaji sepi pengunjung. Namun, sepi dari pengunjung bukan berarti sepi dari sampah. Sampah berupa tisu basah, tisu kering, pembalut, puntung rokok, botol air mineral, dan sampah sisa-sisa kemasan dapat ditemukan pada dataran landai dari jalur Baderan hingga Cikasur. Ada pula ukiran nama mereka pada batang pohon dan sampah yang disangkutkan pada batang pohon

Tidak hanya alam yang dirusak oleh para wisatawan, reruntuhan bangunan bersejarah bekas peninggalan kolonial Belanda di Cikasur juga menjadi korban. Di tembok reruntuhan bangunan terukir nama para perusak dan nama-nama kelompok perusak yang mengatasnamakan “pencinta alam”. Para polisi hutan yang secara berkala berjaga di Cikasur turut melukainya dengan api unggun yang dinyalakan di pojok reruntuhan bangunan. Akibatnya, bangunan ini semakin terlihat tidak terawat dengan tambahan noda hitam bekas api unggun, rumput liar, dan coretan-coretan.

Rumput-rumput liar yang menutupi reruntuhan bangunan bekas peninggalan Belanda.

Api unggun yang dibuat porter dari kepolisian hutan di reruntuhan bangunan peninggalan kolonial Belanda.
Coret-coretan yang dibuat tangan-tangan jahil yang mengaku "pendaki gunung".


Hari terakhir kami di "Taman Eden"
Lagi-lagi kami dibangunkan oleh suara merdu burung-burung penghuni Cikasur. Pagi itu kami harus siap memanggul ransel-ransel enteng kami untuk kembali ke Desa Baderan, meskipun kami belum berhasil melihat macan kumbang dan rusa. Pegal dan nyeri terasa di kaki terutama saat melewati jalan bebatuan. Ketika senja tiba, kami pun telah tiba di Desa Baderan setelah menempuh 10 jam perjalanan. Sebuah warung kami serbu untuk memesan mie instan dan teh hangat. Santapan sederhana ini  kami nikmati sambil
disuguhi cerita mengenai Reog Ponorogo yang dituturkan oleh pemilik warung, pria setengah baya, pecinta seni tradisional. Tawaran menggiurkan menginap semalam di mushola depan rumahnya kami terima dengan senang hati.  



Adzan yang berkumandang menjadi alarm pagi kami kali ini. Dalam perjalanan kami menuju
Alun-alun Besuki, di atas mobil bak pengangut sayur-mayur dan duduk di antara warga Baderan yang hendak menuju pasar, kami mengagumi Dataran Tinggi Hyang dari kejauhan. Kami puas akan pengalaman berharga di sana yang telah tersimpan dalam benak kami dan memori kamera. 

Harapan kami kepada para pengurus kawasan Dataran Tinggi Hyang terutama petugas-petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Probolinggo untuk saling bekerjasama meningkatkan perlindungan tidak hanya pada alam, melainkan juga pada situs bersejarah yang ada di Dataran Tinggi Hyang. Ada baiknya, di sekitar situs bersejarah dipasang papan berisikan informasi mengenai situs tersebut beserta sejarahnya. Selain menambah wawasan wisatawan, secara tidak langsung informasi yang terpasang juga mengajak wisatawan untuk turut merawatnya. Denda maupun sanksi bagi pelaku tindakan destruktif di kawasan ini seperti meninggalkan sampah, merusak situs bersejarah, merusak pohon, juga harus dipertegasSemoga Tuhan Semesta Alam selalu memberkati dataran elok ini dan menjauhkannya dari tangan-tangan perusak.

Perjalanan dari Desa Baderan menuju terminal bus. Kami menaiki truk sayur. 



Keseruan perjalanan ini disponsori oleh:
- Tuhan

- teman-teman MAHAPENA (Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Ekonomi Universitas
Jember) yang telah menyediakan tempat kami bernaung selama beberapahari setelah kami turun gunung, menyediakan makanan bagi kami dengan porsi tukang gali sumur, menjadi narasumber cerita mistis Argopuro, dan mengantar kami berkeliling Jember

- para polisi hutan dari BKSDA Jember (Pak Samaji, Pak Denny) yang memberikan tumpangan api unggun, memberi pasokan makanan kami, menjadi narasumber kami
mengenai Argopuro


- para "dewa api" atau dikenal sebagai para porter karena selalu berhasil membuat    api unggun besar, menyediakan kami minuman hangat dan makanan ringan tiap kali kami mampir ke tenda Pak Samaji, dan Pak Bahari yang sempat mengantar kami                  berkeliling untuk berburu foto flora dan fauna Cikasur

        - Kantin Universitas Jember yang menjual makanan-makanan yang mampu                            mengeyangkan cacing-cacing di perut dengan harga fantastis (Rp 5.000-7.000)

        - para calon anggota BKP Mapala UI 2015 dan Andini atas keseruannya.                                Kalian luar biasa!

        - pemilik mushola Desa Baderan yang menginzinkan kami tidur semalam di mushola              miliknya

        - Mas Iwan (peneliti Lutung) sebagai narasumber


Bersama teman-teman MAHAPENA (Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Ekonomi Universitas Jember).

Bersama para polisi hutan dan para porternya.

Bersama tim peneliti air, Mas Iwan peneliti lutung, dan para porternya.


Mengambil air dari Sungai Kolbu.